Ketika penyesalan harus terjadi
Kasih Sayang
Cerpen moral
Aku mengikuti iring-iringan ibu-ibu di sepanjang jalan menuju sebuah rumah di ujung gang. Masing-masing dari mereka membawa baskom berukuran sedang yang di tutup selembar kain, begitu juga denganku.
Sesekali terdengar obrolan ringan di antara ibu-ibu itu. Sesekali pula terdengar hela napas berat sesaat setelah mereka berbicara. Kemudian diam tanpa kata.
Iringan kami telah sampai pada tempat yang di tuju. Sebuah rumah sederhana berdinding kayu, dengan alas terbuat dari semen yang sebagaian sudah terkelupas. Membuat kakiku terasa sedikit sakit saat tanpa sengaja menginjak pecahan semen itu.
Para ibu itu menuangkan beras di baskom ke dalam karung yang tersedia di samping pintu, lantas mereka memasuki rumah. Lagi-lagi aku mengikuti apa yang mereka lakukan.
Di dalam rumah, sudah banyak pula warga yang sudah berkumpul. Beberapa orang sedang membentangkan kain lebar berwarna putih, sebagian mangguntingnya.
Aku mengedarkan pandangan, dan berhenti pada sesosok tubuh tinggi tertutup kain jarik. Beberapa orang di sampingnya tengah duduk menunduk. Ada pula yang menangis dengan suara kencang. Dia, Suratih, temanku.
Subuh tadi, speaker musala terdengar nyaring saat aku baru saja bangun tidur. Memberitahukan bahwa Pak Diman, ayah Ratih meninggal dunia.
Aku sempat syok, tak menyangka ayah temanku pulang secepat itu.
"Dea, samperin temenmu." Ibu berbisik tepat di telingaku.
Aku mengangguk, lalu berjalan ke arah Ratih yang masih memeluk jasad sang Ayah.
"Tih ...." Kuusap lembut bahu Ratih, mencoba menenangkannya.
Ratih tak menggubris, dia masih menenggelamkan wajahnya pada dada sang Ayah. Hingga seseorang memberitahu bahwa jenazah akan dimandikan, baru Ratih melepas pelukan. Itupun dengan drama terlebih dahulu.
Aku membawa Ratih ke kamarnya. Menemaninya menumpahkan air mata. Ada kepedihan yang tersimpan di sorot matanya itu. Aku tahu, siapa yang tak sedih ditinggal orang terkasih? Terlebih Ratih sebab sudah tak punya orang tua lagi.
"Udah, Tih, kasihan bapakmu." Aku memeluknya dari samping.
Ratih menutup mulut dengan kedua tangannya, berusaha meredam suaranya yang semakin keras. Menyaksikannya seperti itu, membuat hatiku ikut teriris.
"Bersedih boleh, nangis boleh, tapi jangan meratapi seperti ini. Akan memberatkan bapakmu."
Ratih menoleh ke arahku, wajahnya basah dengan mata membengkak dan hidung memerah. Ke dua tangannya mendekap sebuah kotak sedang yang tadi kuberikan.
***
Sepanjang perjalanan pulang dari rumah Ratih, aku tak banyak bicara. Entah kenapa perasaanku jadi tak enak. Entah karena kejadian yang baru saja terjadi, atau karena perkataan Ratih.
Dengan wajah yang memerah dan basah, Ratih berbicara dengan penuh penyesalan. "Aku gak nyangka Bapak pergi secepat itu, De. Aku belum sempat berbakti padanya, tapi Allah lebih dulu memanggilnya. Tanpa memberi kesempatan padaku untuk memperbaiki diri. Untuk minta maaf sama Bapak." Ratih menghapus air yang terus mengalir di pipinya dengan tangan gemetar. Benar-benar terlihat sekali penyesalan di sana.
Sepanjang yang kutahu, Ratih memang suka bertengkar dengan Bapaknya. Seringkali dia datang ke rumahku, lalu bercerita mengenai Bapaknya yang tak bisa memenuhi keinginannya.
"Aku sebel sama Bapak, De. Mau dibelikan ponsel kayak punyamu alasannya ada aja. Uangnya gak cukuplah, ada keperluan lainlah. Padahal aku juga pengen punya ponsel kek gitu. Aku malu kalo harus numpang sama kamu tiap mau sekolah."
Karena pandemi, sekolah memang menerapkan sistem belajar online. Hal itu sangat menyulitkan masyarakat yang tak punya ponsel, termasuk keluarga Ratih. Pekerjaan Pak Diman hanya serabutan, mungkin itu yang menjadi penyebab ayah Ratih tak mampu membelikannya ponsel.
Lain waktu Ratih mengadu padaku perihal makanan yang tak seenak di rumahku. Saat beberapa kali aku mengajaknya makan bersama di rumahku.
"Kalo udah gak ada, baru kerasa betapa berartinya orang tua kita."
Ucapan terakhir Ratih berhasil menohok jantungku. Meremasnya perlahan lalu menyisakan rasa perih yang membekas di dalam sana.
Teringat betapa aku pun terkadang mengabaikan nasehat Bapak dan Ibu. Aku menyadari betapa selama ini sangat jauh dari kata anak salihah. Gelar yang begitu diidam-idamkan oleh setiap anak, sebab dari sana pintu-pintu kebaikan terbuka. Untukku dan juga orang tuaku.
Tiba-tiba rasa takut perlahan menyelimuti hatiku. Bagaimana kalau nanti Bapak atau Ibu pergi? Siapa yang akan membimbingku?
Ya Rabb ... cukuplah kematian sebagai pengingat. Supaya kita tahu bahwa dunia tak akan kekal abadi. Ada negeri lain yang menanti di sana. Sebagai tempat terakhir manusia bermuara.
"Dea, jangan melamun. Udah sampe rumah." Tepukan di bahu menyadarkanku.
Ibu menggandeng tanganku memasuki rumah. Lalu kami duduk di sofa depan televisi, diikuti Bapak.
Aku menghambur memeluk Ibu, lalu menenggelamkan wajah di dadanya. Seperti biasa, memeluknya mampu mendamaikan hati yang gelisah. Membuat keresahan perlahan sirna.
"Ada apa?" Ibu mengusap kepalaku.
"Kasihan Ratih, ya, Bu. Udah gak punya Ibu, sekarang bapaknya meninggal juga."
"Iya, tapi alhamdulillah ada bibinya mau mengurusnya."
Aku melepas pelukan Ibu, lalu berbalik dan beralih memeluk Bapak yang duduk di belakangku.
Walau jarang bicara, aku tahu seorang Bapak pun menyayangi anak-anaknya. Pengorbanannya tak perlu dipertanyakan lagi.
Seperti bapaknya Ratih. Bukan dia tak bisa memberi apa yang putrinya minta, tapi perlu waktu untuknya berusaha. Berusaha mengumpulkan pundi-pundi rupiah agar bisa memberikan sesuatu yang dibutuhkan putrinya.
"Dea, Bapak nitip ponsel ini. Tolong kasih sama Ratih besok, ya." Ucapan Pak Diman semalam kembali terngiang, saat tanpa sengaja kami bertemu di jalan sebelum dia berangkat kerja.
Tanpa ada yang tahu bahwa malam itu kali terakhir Bapaknya Ratih berusaha membuktikan bahwa dia menyayangi putrinya.
Editor :Fifit Safitri
Source : Penulis: Sumayyah Hanif